OPINI: GURU BUKAN YANG UTAMA DARI KEGAGALAN SUMBERDAYA MANUSIA

Penulis: Gusty A. Haupunu, Guru matapelajaran Geografi di SMA N I Amfoang Barat Laut


Perjalanan panjang peradaban dunia yang saat ini telah dinikmati oleh setiap makluk penghuni alam semesta, semestinya mengambil sikap dalam mengoreksi setiap peristiwa-peritawa yang telah terjadi di kolong langit ini. Dunia begitu berubah secara drastic oleh karena kemajuan dari pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Saat ini dimana-mana semua orang rame berbincang tentang penemuan ini penemuan itu dan penemuan-penemuan lainya. Dunia tidak lagi berkompromi pada siapa, yang cara pandangnya keluar dari lingkaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi ini jelas terjadi disetiap negara yang saat ini berdirih kokoh diatas palanet bumi yang kita cintai. Setiap negara akan terus bergerak aktif dalam memajukan kehidupan rakyatnya demi menjawab tuntutan peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi. Tindakan setiap negara dalam menjawab tuntutan peradaban dunia begitu beragam dan selalu disesuaikan dengan kondisi negara masing-masing. Secara kontekstual dalam perhelatan politik di Indonesia pun demikian. Dalam beberapa dekade terakhir ini, isu soal perkembangan IPTEK, hangat diperbincangkan disemua sektor. Beragam konsep, ide, kritik dan usulan disampaikan secara bertubi-tubi dan sasaran kritik itu tertuju pada pelaksana depan dari pada peradaban IPTEK. Memang titik tumpuh dari pada IPTEK ada pada kecerdasan manusia, dan hal ini tidak akan terlepas dari peran guru dalam menjalankan misi besar itu. Rejim berganti rejim, evaluasi atas nama kualitas sumberdaya manusia dinomor satukan. Dan akhir dari pada evaluasi itu merujuk pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang dimana penggunaan uji sampel kualitas sumberdaya manusia ada pada kualitas peserta didik. Melalui evaluasi inilah sasaran kritik mutlak ditujukan dalam rana pengabdian seorang guru. Saat kritik pahit itu dilepaskan dari mulut para penguasa, kritik-kritik itu bagaikan badai kematian yang sangat menggoreskan hati para pendidik seakan-akan gurulah yang menjadi pion utama dalam persoalan ini. Disinilah bermunculan krtik arus balik dari kalangan pendidik dengan kata-kata tanya mengapa guru yang dipersalahkan??? Pertanyan-pertanyaan arus balik ini ramai diumbar kesemua sarana komunikasi baik cetak maupun elektronik. Kata-kata kesal, cemas, dan kegelisahan diungkapkan atas nama penderitaan seorang guru dalam tapak-tapak perjuanganya. Memang rana ini kehidupannya bagaikan menelan pil pahit tanpa secangkir air putih. Kenyataan ini jelas ada pada kehidupan nyata setiap pengabdian para guru. Bangsa ini bangsa yang besar didalam bangsa ini terdapat beribu-ribu kepala yang bergelar besar dan bahkan sebutan nama gelar besar mereka, sulit di baca oleh setiap orang. Anehnya catatan, ide, konsep maupun kritikan-kritikan mereka menabrak pada sasaran yang bukan merupakan sasaran yang utama. Dari berbagai catatan dan tulisan yang diperoleh hanya terdapat 2% saja yang mengungkapkan kritikan-kritikan dan usulan yang tepat pada sasarannya. Namun, 2% kritikan-kritikan itu tidak mampu menembus tembok-tembok penguasa yang saat ini berkuasa. Sehingga tidak heran jika pengamat politik dan setiap penguasa rejim akan memunculkan pandangan yang sama bahwa gurulah yang menjadi basis persoalan dari kualitas sumberdaya manusia. Dasar kritikan semacam itu merupakan dasar kritik, ide dan konsep yang menuju pada kesesatan berpikir. Sebab, Secara normatif telah diketahui secara bersama bahwa maju mundurnya kualitas sumberdaya manusia itu ada pada beberapa faktor seperti tenaga pendidik, orang tua, pemerintah, lingkungan, sistem pendidikan maupun regulasi yang dijalankan oleh negara. Dari faktor-faktor itu secara total, pengendalianya ada pada sitem yang berlaku. Tenaga pendidik, orang tua, pemerintah, situasi lingkungan semuanya akan tunduk pada sistem. Dan seharusnya segala kritik, ide dan konsep itu diarahkan kepada sistem pendidikan yang berlaku, bukan pada guru yang hanya merupakan pelaksana dari pada sistem tersebut. Guru itu bukan pecundang, guru itu bukan anti kritik, guru juga bukan manusia yang cengeng namun guru itu hanyalah mesinya negara dalam menjalankan segala sistem dan regulasi yang telah ditetapkan oleh rejim. Sampai disini, seharusnya sudah dipahami oleh rejim. Bahwa yang seharusnya dirombak dan dikritik adalah sistemnya. Sebab sistem yang baik akan menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Sebagai catatan sejarah masa kolonial terkait sistem pendidikan, jelas bahwa sistem pendidikan masa kolonial adalah sistem pendidikan yang berwatak eksploitatif dan diskriminatif. Pendidikan masa itu orang-orang hanya diajarkan cukup untuk mengerti bagaimana cara berhitung, membaca dan menulis. Selebihnya tidak diperbolehkan oleh sistem. Sebab, Sasaran pelayanan pendidikan masa kolonial hanya menginginkan tenaga-tenaga kerja berupah murah untuk dipekerjakan di perusahaan milik kolonial. Dengan sistem pendidikan semacam itulah mendesak para pejuang-pejuang kemerdekaan untuk membentuk pendidikan alternatif dalam mendidik setiap anak-anak bangsa demi memahami secara total tentang sebuah peradaban kemanusiaan. Alhasil dari pendidikan alternatif itulah maka muncul orang-orang Indonesia yang cerdas dan tangguh dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Saat kita cermati jalannya sistem pendidikan dan regulasi yang diterapkan saat ini modelnya tidak jauh berbeda dengan sistem pendidikan masa kolonial. Hampir disetiap wilayah orang-orang yang menyandang gelar-gelar akademis ketika masuk dalam dunia kerja, orang-orang tersebut dibiayai dengan upah murah. Disini Guru lah tumbalnya. Guru dituntut bekerja seefektif mungkin dan tidak diperbolehkan untuk bicara atas nama kesejateraan. Dimana-mana guru diperbincangkan bahkan pada saat pesta demokrasi paparan visi misi dari calon penguasa, guru dinomor satukan. Namun, visi misi itu hanya menjadi topeng muslihat dalam meraup suara guru. Terbukti setelah berkuasa sistem dan regulasi yang ditawarkan berujung pada pengekangan kerja-kerja guru dan dunia kesejahteraan dijauhkan dari kehidupan seorang guru. Pembentukan sistem itu Misalnya Mata pelajaran yang diterapkan begitu beragam, sehingga guru dan peserta didik kesulitan dalam berkonsentrasi. Bagaimana mungkin kualitas itu akan kita peroleh bila matapelajaran yang diterapkan oleh sistem pendidikan begitu beragam. Selain diperhadapkan dengan berbagai bentuk matapelajaran, negara juga, menginginkan keseragaman berpikir setiap orang, dengan penggunaan penilain pada penguasaan matematik, Ilmu pengetahuan alam, dan membaca, yang mengikuti Penilaian yang ditetapkan oleh PISA (Programme For Internasional Student Assessment) . bahwa keberhasilan kualitas peserta didik itu hanya ditentukan dari penguasaan matematik, Ilmu pengetahuan alam, dan membaca. Indikator inilah kualitas sumberdaya manusia diperbincangkan. Negara menginginkan keseragaman kualitas sumberdaya manusia namun Negara tak mampu mengetahui bahwa kemampuan suberdaya manusia beragam. inilah yang menjdi problemnya. Dari data faktual dapat kita simpulkan bahwa kemampuan peserta didik itu beragam. Ada yang menguasai seni, ada yang menguasai olaraga, ada yang menguasai pengolahan hasil pertanian, ada pula yang menguasai otomotif. Jadi, keinginan negara melalui sistem untuk menyeragamkan kualitas peserta didik itu mustahil diwujutkan. Sebab kemampuan peserta didik itu merupakan daya kemampuan secara alami yang telah dibentuk semasa dalam kandungan setiap ibu. Bila dipaksakan atas keinginan sistem, bisa terwujut namun hasilnya tidak maksimal. Dan ini dampaknya akan ditanggung oleh guru saat mendidik murit-muritnya. Disini Guru akan dibikin pening oleh murit-muritnya saat mengajar dengan tingkalaku peserta didik yang brutal dan tak bermoral. Lalu kita bertanya, Mengapa bermunculan tingkalaku demikian??? Jwabanya ada pada sistem pendidikan kita. Sebab, sistem pendidikan kita tidak mampu menyediakan ruang sesuai kebutuhan belajar peserta didik. Saat ini negara menyatakan bahwa guru memiliki kualitas rendah, justru sebaliknya sistem pendidikan kita yang menunjukan kualitas dibawah standar peradaban kualitas sumberdaya manusia. Untuk itu penilain negara soal kualitas sumberdaya manusia harus dilakukan sesuai dengan kemampuan setiap manusia, biarkan bangsa ini tumbuh  dengan beragam kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing orang. tinggalkan analisis yang dibuat oleh PISA. Sebab analisis PISA itu justru menghegemoni sistem pendidikan kita menuju pada jalan kehancuran yang selalu menginginkan penyeragaman pengetahuan peserta didik, pada kemampuan matematik, membaca, dan kemampuan dalam ilmu pengetahuan alam. Jika demikian, Apakah kemampuan seni, olaraga, pengolahan hasil pertanian, otomotif dan kamampuan lainya tidak menunjukan kualitas sumberdaya manusia???












Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "OPINI: GURU BUKAN YANG UTAMA DARI KEGAGALAN SUMBERDAYA MANUSIA"

Post a Comment