NATAL, JALAN. PERLAWANAN PENINDASAN





Oleh: Gusty A. Haupunu, Guru SMA N I Amfoang Barat Laut dan Majelis Jemaat  Ora Et Labora Soliu

Jauh sebelum kedatangan Kristus, dunia dikuasai oleh penguasa bengis yang tidak terkendalikan, mereka memerintah tanpa prinsip kemanusian. Selayaknya pemimpin yang berpaham barbarisme. Model kekuasaan inilah dunia mendatangkan malapetaka besar bagi kehidupan manusia dengan hidup dalam kemiskinan dan penindasan. Berdasarkan kondisi objektif ini, maka Allah Bapa Sang pencipta menghadirkan Putra tunggalnya di dunia sebagai misi Allah untuk membebaskan manusia dari jeratan dosa dan penindasan. Bukti kepedulian Allah bagi manusia, terhadap perbuatan dosa, dan penindasan, maka jauh sebelum kedatangan Kristus Allah telah mengutus orang-orang yang setia dan beriman kepadaNya, untuk turut terlibat dalam misi pembebasan manusia dari dosa dan penindasan. Dasar ini dapat kita temui dari catatan  Alkitab, diantaranya perjuangan Nabi Musa yang mengeluarkan bangsa Israel dari tanah perbudakan (Mesir), perjuangaan raja Daut dalam memerangi bangsa Filistin, kemudian beberapa Nabilainya yang tercatat dalam Alkitab namun tidak disebutkan dalam tulisan ini. berdasar pada catatan alkitab maka, dapat disimpulkan bahwa maksut Allah mengutus Putra tunggalnya kedunia tidak sebatas memberitakan injin keselamatan dosa. Namun maksut Allah juga yaitu, menjadikan Injil sebagai alat perlawanan atas penindasan. Namun kebanykan orang beranggapan bahwa, kadatangan Kristus dibumi, sekedar melunasi dosa manusia, dengan Allah Bapa. Tidak lebih dari pada itu. Asumsi ini diciptakan oleh manusia sendiri tanpa memahami secara keseluruhan setiap teks yang tercantum dalam alkitab, sehingga Pemahaman manusia, hanya sebatas ayat-ayat yang lebih condong pada nasehat dan didikan. Ini sebabnya,  maksud Allah melalui kedatangan Kristus sebagai bentuk manifestasi Allah dalam memerangi kejahatan manusia atas manusia tidak dilaksanakan oleh manusia dan institusi (Gereja). Ketidakterlaksananya misi Allah dalam memerangi penindasan manusia atas manusia dan penindasan bangsa atas bangsa melalui peran gereja bersama umat, dapat terlihat dari model pelayanan gereja saat ini, yang selalu menghindar dari persoalan umat, saat umat menghadapi persoalan kemiskinan, kemanusian dan lingkungan hidup. Secara jujur dapat disebutkan bahwa peran gereja saat ini, lebih terfokus pada pelayanan moral dan pelayanan iman semata. Tidak lebih dari itu, untuk melibatkan diri dalam perjuangan nyata dibumi sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan. Sedangkan, dilain segi dalam internal gereja tidak disangkali juga, karena masih ada pelayan-pelayan Kristus lainya yang secara lembaga dan pribadi telah menunjukan sikap mereka dalam melawan penindasan. Misalanya di Nusa Tenggara Timur (NTT), Keterlibatan Mama Mery Kolimon selaku ketua Sinode GMIT NTT, yang berupaya memerangi kekerasan perempuan dan anak di Pubabu Besipae, dan keterlibatan beliau dalam penolakan RUU Omnimbus Law pada beberapa bulan lalu. Semua yang dilakukan ini merupakan bentuk perwujutan nyata dari karya keselamatan Allah. Sayangnya, gerakan yang dilakukan oleh Mama Mery Kolimon, justru menuai arus kritik dari tubuh gereja sendiri. Hal-hal semacam ini bagi saya sebagai pengikut Kristus, perlu kita pahami secara baik dan benar apa maksut Allah yang sebenarnya, dengan mendatangkan putranya di Bumi. Untuk memahami maksut Allah yang sebenarnya dapat kita pelajari dari keberadaan Kristus dibumi sebagai wujut firman yang hidup. Pertama pelajari (Matius 23 : 1-36) teks suci ini, jelas secara terang-terangan kristus menunjukan sikap kritisnya, dalam menentang para penguasa yang selalu mengeksploitasi kaum-kaum lemah untuk kepentingan jabatan, harta dan kedudukan mereka. Sebab pada masa itu para penguasa selalu memerintah dengan tipuh muslihat, rakus dan menindas sehingga keadilan dan kebenaran tidak diwujutkan dalam kehidupan manusi. Kedua (Markus 10:17-27), jelas Yesus menginginkan suatu keadilan yang harus dihidupkan dalam dunia ekonomi dan ini merupakan bentuk dasar dari penindasan sebab ekonomi adalah sendi kehidupan. Kondisi masa lampau ini juga sejalan dengan Indonesia saat ini. dimana, setiap kebijakan rejim yang telah berkuasa, hanya melahirkan kebijakan anti rakyat. Hal ini dapat kita temui, di setiap pemberitaan media, soal PHK, perampasan lahan, upah honorer yang tidak sesuai dengan pengabdian kerja dan seterusnya selalu menguasai liputan pemberitaan media dalam kanca Nasional. Bukti-bukti persoalan ini merupakan ketidakseriusan Negara dalam menuntaskan persoalan rakyat. Lepasnya kerja Negara dalam persoalan rakyat, merupakan kolaborasi Negara bersama, para pemodal dengan system kapitalisnya mereka untuk menciptakan, kemiskinan yang meraja-lela, kebodohan yang meraja – lela, perampasan hak rakyat yang meraja – lela dan lain sebagainya. Fenomena ini jelas dirasakan oleh Rakyat. Dan Rakyat/umat selalu mencari jalan kesejahteraannya sendiri tanpa dikawal oleh Negara. Hal-hal semacam ini jangan dianggap sepeleh karena, kondisi ini akan berdampak pada, konteks kita beragama dan beriman, dengan menghasilkan inkonsistensi iman kepada Allah. Hal ini tidak terlihat, namun sebagian terjadi. Seperti kata Stephen Bullivant, guru besar teologi dan sosiologi di St Marys University, London. Bahwa biasanya orang-orang Eropa memeluk Kristen, sudah tak berlaku lagi, dan mungkin hilang selamanya. Ungkapan ini berdasar pada survey nya terhadap anak-anak muda dan dewasa di 12 Negara Eropa yang mayoritas dari mereka tidak menganut agama. Jelas yang dilangsir oleh bbc.com. Memandang fenomen ini, diharapkan peran Agama (Gereja) dapat mengambil sikap dari setiap persoalan yang di hadapi oleh Mayoritas rakyat/umat. Untuk  itu, Gereja bersama umat harus, mewujutkan makna keselamatan, dalam karya – karya nyata dengan melawan Kapitalisme, sebagai system penindas kelas yang selalu menghadirkan tiga lingkaran setan (kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan) bagian inilah yang selalu menggerogoti konsistensi iman kepada Allah. Dengan demikian, maksut Allah menghadirkan Putranya ke dunia yang ditandai dengan hari Natal merupakan momentum Allah untuk menuntaskan persoalan penindasan dan dosa manusia. Oleh karena itu Natal harus dijadikan sebagai jalan perlawanan penindasan. Dengan menetapkan Natal sebagai jalan perlawanan, maka makna Natal Perlu dimanifestasikan ke dalam konteks perjuangan.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "NATAL, JALAN. PERLAWANAN PENINDASAN"

Post a Comment